ilmu negara


Ilmu negara
George Jelinek berpendapat bahwa Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah)tentu.
SOCRATES (470 – 309 SM

 gagasan-Berbeda dengan kaum Sophis, Socrates menyampaikan pemikirannya yang egaliter. Misalnya soal konsep keadilan, bila kaum Sophis berpandangan bahwa keadilan hanya milik penguasa dan bersifat subyektif, Socrates sebaliknya. Dia mengatakan bahwa keadilan itu bersikap obyektif dan dapat dimiliki setiap warga negara. Negara atau penguasa berkewajiban mewujudkan keadilan bagi semua orang.
 Socrates berpandangan, manusia memiliki rasa kebenaran dan keadilan. Hanya saja, rasa keadilan dan dorongan kebenaran terkubur nafsu duniawi, ketamakan dan nafsu berkuasa. Dia berpandangan, untuk jadi makmur dan adil, negara harus dikuasai oleh orang-orang yang didorong perasaan keadilan sejati, keadilan otentik.
 Bersama dengan pendapatnya itu, Socrates menguraikan tentang negara menurut pemikirannya. Negara bagi Socrates harus diarahkan pada tujuan untuk mewujudkan keadilan yang harus bisa dinikmati semua orang, bukan hanya milik penguasa yang pada masa Yunani Kuno sering berganti-ganti. Pada masa Socrates, gagasam-gagasan demokrasi mulai tumbuh.
gagasannya yang terkesan “revolusioner” atau melawan mainstream pemikiran ketika itu.

NEGARA DAN KONSEP NEGARA MASA YUNANI KUNO
 
Socrates berpandangan, manusia memiliki rasa kebenaran dan keadilan. Hanya saja, rasa keadilan dan dorongan kebenaran terkubur nafsu duniawi, ketamakan dan nafsu berkuasa. Dia berpandangan, untuk jadi makmur dan adil, negara harus dikuasai oleh orang-orang yang didorong perasaan keadilan sejati, keadilan otentik.
 Bersama dengan pendapatnya itu, Socrates menguraikan tentang negara menurut pemikirannya. Negara bagi Socrates harus diarahkan pada tujuan untuk mewujudkan keadilan yang harus bisa dinikmati semua orang, bukan hanya milik penguasa yang pada masa Yunani Kuno sering berganti-ganti. Pada masa Socrates, gagasam-gagasan demokrasi mulai tumbuh.
PLATO (429 – 347 SM)
 Gagasan Plato tentang negara hampir senada dengan Aristoteles. Murid terbaik Socrates itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Hanya saja, kekuasaan mutlak (absolutisme) negara itu harus diarahkan pada moral-hazard kekuasaan, yakni melindungi warga negara, menjamin kesetaraan hukum, keadilan dan kemakmuran ekonomi seluruh warganya.
 Plato lahir dari keturunan bangsawan di Athena yang menjadi pusat peradaban Yunani. Latar belakang pendidikannya yang tinggi, dan persentuhannya dengan Socrates menjadikan Plato sebagai pemikir yang gelisah dengan perkembangan masyarakat Yunani ketika itu. Politik kacau balau, para penguasa sewenang-wenang dan korupsi merajalela menggiring Plato pada kecemasan-kecemasan intelektual. Karena merasa muak dengan kondisi sekelilingnya, Plato lalu lebih memusatkan pada dunia pemikiran, mengikuti jejak gurunya, Socrates.
 Bedanya, Socrates mengemukakan gagasan dan pemikirannya secara lisan, melalui diskusi dan pidato-pidato, Plato lebih konseptual. Pemikirannya dituangkan dalam tulisan dan dibukukan. Diantaranya yang menyangkut negara dan kekuasaan ialah “Politea” atau “The Republic” yang membahas tentang negara, lalu “Politicon” atau “The Statemens” membahas tentang negarawan dan “Nomoi” atau “The Law” berisi tentang peraturan dan undang-undang.
Lewat buku “Politea”, ajaran Plato tentang negara didasarkan pada aliran idealisme, filsafatnya juga digolongkan dengan filsafat idealisme. Buku itu mengurai tentang konsep negara sempurna (ideal state) yang berbentuk ide-ide atau cita-cita. Dalam “Politea”, Plato membagi dua dunia, yakni dunia ide, cita atau pikiran yang merupakan “kenyataan sejati” dan dunia alam, bersifat materil atau dunia fana yang bersifat palsu. Untuk mencapai tatanan negara yang sempurna, maka dunia alam harus disamakan dengan dunia ide. Yakni negara yang memenuhi tiga jenis ide, yakni ide tentang kebenaran, keindahan atau seni (estetika) dan kesusilaan (etika).
 Pada jaman yang sama, gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan negara yang dikenal dengan nama demokrasi mulai lahir dengan bentuk masih sangat sederhana. Sistem demokrasi di negara kota (polis atau city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu pemerintahan di mana hak membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasar prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan keputusan secara kolektif telah mulai diselenggarakan, pelembagaannya belum dikenali secara utuh,  karena pemikiran mengenai teori negara baru muncul.
 Plato sebenarnya mengritik demokrasi langsung di negara kota atau Polis. Ini karena praktek demokrasi seperti itu, berpotensi memunculkan praktek kekeliruan dalam memilih penguasa.
            Plato berpendapat, untuk mencapai tatanan sempurna, negara harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, negara harus diperintah para cerdik pandai, pemerintahan harus ditujukan pada kepentingan umum dan rakyat harus berdaulat atau mencapai kesusilaan sempurna. Sesuai sifat manusia (kebenaran, keberanian dan kebutuhan), Plato membagi kelas-kelas dalam negera, para penguasa (the rulers), para pengawal negara (the guardian) dan pekerja (the artisans).

            Sejumlah bentuk negara pun mengalami pembagian pada pemikiran Plato. Disebutlah bentuk negara Aristokrasi (kekuasaan cerdik pandai), Oligarki (kekuasaan segelintir orang tanpa memperhatikan aspek keadilan umum), Timokrasi/Plutokrasi  (pemerintahan segelintir orang kaya), demokrasi (pemerintahan rakyat banyak), tirani (pemerintahan satu tangan).
            Plato juga pernah dipercaya memimpin negara, namun gagal. Lalu dia menulis buku keduanya, “Politicon” (The Statemens) yang membedakan bentuk-bentuk negara. Yakni Monarki (pemerintahan satu tangan oleh raja), Aristokrasi dan Demokrasi.
 Dari Plato ini, pemikiran demokrasi berawal. Dalam perkembangannya kemudian memunculkan berbagai konsep tentang negara dan demokrasi. Hanya saja, seluruh konsep itu hancur dalam perang Philopo antara Sparta dan Athena.
ARISTOTELES (382 – 322 SM)
Gagasan negara Aristoteles tidak jauh berbeda dengan gurunya, Plato. Prinsipnya  kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali (anarki) bila negara tidak memiliki kekuasaan besar. Latar belakang dari pemikiran itu berdasar pada kekhasan individu memiliki kecenderungan keras untuk bertindak atas dasar kepentingan sendiri. Oleh karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud Aristoteles (dan juga Plato) adalah penegakan moral dalam masyarakat.
 menurutnya negara harus dikuasai oleh para filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian para filsuf memiliki kewenangan mutlak dalam negara atas dasar kapasitas pribadinya. Bentuk pemerintahan ini dinamakan "Aristokrasi Para Cendekia".
 Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Dia menetap di sana selama dua puluh tahun hingga tak lama Plato meninggal dunia. Dari ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan "pengetahuan praktis". Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis.
 .  Meski sebagai murid Plato, namun gagasan dan pemikiran Aristoteles memiliki perbedaan prinsip. Bila Plato dikenal dengan ajaran Idealisme, Aristoteles sebaliknya, dia melandasi pemikirannya pada aliran Realisme.
Realisme menjadi dasar dari seluruh pemikiran Aristoteles, baik mengenai negara, politik termasuk juga filsafat. Sebagaimana realisme, pemikiran Aristoteles didasarkan pada kenyataan. Metode berpikirnya juga berbeda dengan Plato yang “deduktif-idealis”. Aristoteles banyak menggunakan silogisme berpikir “induktif-empiris”, menarik (abstraksi) hal-hal khusus untuk dijadikan kaidah-kaidah yang lebih bersifat umum (general). Metode berpikir seperti itu menjadikan Arostoteles sebagai “Bapak Ilmu Empiris”.
           
Berbeda dengan Plato, Aristoteles tidak mengakui adanya dualisme dunia (antara ide dan alam). Baginya yang ada adalah alam realitas atau dunia kenyataan yang bersifat materil dan bisa diamati dengan pancaindra. Pemikiran filsafatnya yang realis juga menjadi nafas dalam penyusunan konsep mengenai negara dan demokrasi, kendatipun dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan pemikiran Plato.
           
 Aristoteles beranggapan, bahwa negara terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusia (warga negara) sebagai mahluk politik atau “Zoon Politicon”, berbeda secara fundamental dengan hewan dan tumbuhan. Masyarakat manusia ialah mahluk sosial yang membutuhkan hubungan atau interaksi-interaksi sosial satu sama lain..
 Aristoteles mengemukakan, bentuk-bentuk negara itu dalam kenyataannya tidak ada. Yang ada ialah pemerintahan sistim campuran (mixed form) dan Monarki, Aristokrasi dan Politea (Republik) dalam kenyataaannya adalah gabungan bentuk cita dan pemerosotan. Aristoteles berkesimpulan, bentuk negara sebenarnya hanya ada dua, yakni bentuk campuran (mixed form) dan pemerosotan (corruption form).
 Dari sederet nama filsuf atau pemikir Yunani Kuno, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir yang memberi kontribusi besar pada perkembangan ilmu politik. Karyanya yang berjudul  “Politica” memiliki peran besar dalam perkembangan dasar-dasar ilmu politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung terpana dengan pandangan-pandangan politiknya tentang negara.

“Politica” mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan yang sederhana hingga memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran kritis, mendalam, holistik, dan visioner.

Selain memberikan sumbangan pemikiran pada politik dan Negara, sumbangsih pemikiran Aristoteles juga pada gagasan mengenai etika dan metafisika, dia juga peletak dasar ilmu logika.  Pemikirannya yang realistis adalah antitesa dari Plato yang idealis. Ia lebih mengagumi penggunaan nalar yang rasional dan terukur. 
 “Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi”…itulah sepenggal inti ajaran Aristoteles tentang Negara dalam bab pertama “Politica”.
Terbentiknya Negara menurut Thomas hobes
Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan dir Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya).Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah "keadaan alamiah" saat belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban.
Contak social menurut Thomas hobes
 Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.
Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka.
Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Untuk terselenggaranya perdamaian maka menurut Thomas Hobbes, manusia-manusia itu lalu mengadakan perjanjian, yang disebut perjanjian masyarakat, untuk membentuk suatu masyarakat yang selanjutnya negara, di mana setiap orang dalam negara itu dapat bekerja untuk memiliki sesuatu dan tidak selalu terancam jiwanya.
Menurut Thomas Hobbes perjanjian masyarakat sifatnya langsung, artinya orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan haknya atau kemerdekaannya kepada raja. Jadi, tidak melalui masyarakat. Raja berada di luar perjanjian, jadi tidak merupakan pihak dalam perjanijian itu dan mempunyai kekuasaan yang absolute. Sedangkan sebab adanya perjanjian itu sendiri adalah rasa takut yang ada pada tiap-tiap manusia bahwa keselamatannya selalu terancam. Jadi, pengikatnya adalah nasib. (Soehino, 2005:100)

. . JOHN LOCK Locke dilahirkan tahun 1632 di Wrington, Inggris. Dia memperoleh pendidikan di Universitas Oxford, peroleh gelar sarjana muda tahun 1656 dan gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja dia tertarik sangat pada ilmu pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia terpilih jadi anggota “Royal Society.” Dia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal Robert Boyle dan kemudian hampir sepanjang hidupnya jadi teman dekat Isaac Newton. Kepada bidang kedokteran pun dia tertarik dan meraih gelar sarjana muda di bidang itu meskipun cuma sekali-sekali saja berpraktek.
Locke menyandarkan kewajiban politik pada kontrak sosial. Ia memulai risalahnya tentang filsafat politik dengan menempatkan keadaan alamiah asli yang ia sebut sebagai komunitas umat manusia alamiah yang besar. Kondisi ini, demikian ia menggambarkannya, adalah kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akal tetapi tanpa otoritas politik. Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, ia bukan keadaan kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat yang tidak beradab, tetapi masyarakat anarki yang beradab dan rasional.
Locke mengakui perlunya beberapa aturan hukum lain selain yang ada bersifat moral karena “hukum alam, sebagaimana hukum-hukum lain yang mengatur manusia di atas bumi, akan sia-sia jika tidak ada orang dalam keadaan alamiah yang mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan hukum tersebut, dan juga untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah serta mencegah orang-orang yang ingin menyerang.
Dalam sistem sosial yang tergantung pada pelaksanaan sendiri dan hukum alam tersebut terdapat beberapa cacat, seperti pertama terdapat kebutuhan akan pelaksanaan hukum yang mapan, diketahui, yang diterima dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi standar benar dan salah, dan tindakan bersama untuk memutuskan semua pertentangtan di antara mereka; dan kedua, terterdapat kebutuhan akan hakim yang dikenal dan adil dengan otoritas memutuskan semua perselisihan menurut hukum yang baku. Di bawah kondisi seperti ini upaya manusia untuk menikmati hak pribadi dan hak miliknya menjadi tidak pasti dan tidak aman. Meskipun mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam keadaan alamiah, berbagai kekurangan dari kondisi tersebut mendorong manusia untuk bersatu dalam masyarakat politik.
Menurut John Locke, untuk menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia, manusia lau menyelenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat yang selanjutnya negara. Dalam perjanjian itu, orang-orang menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya. Masyarakat ini kemudian menunjuk seorang penguasa, dan kepada penguasa ini kemudian diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia tadi. Tetapi di dalam menjalankan tugasnya ini kekuasaan penguasa adalah terbatas. Yang membatasi adalah hak-hak asasi tersebut. Artinya, di dalam menjalankan kekuasaannya itu penguasa tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia. (Soehino, 2005:108)
John Locke menjelaskan bahwa memang ada kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa dalam mengelola perihal kenegaraan dan kewargaan. Untuk menjalankan hal taresebut, maka negara pantas memiliki kekuasaan besar. Tetapi kekuasaan itu ada batasnya. Batasannya menurut John Locke adalah hak alamiah manusia yang melekat semenjak manusia itu lahir. Di antaranya adalah hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan, hingga hak atas milik pribadi. (Leo Agustino, 2008:37).
Locke melanjutkan, pemisahan kekuasaan harus dillakukan ke dalam tiga institusi besar, yakni: (i) lembaga legislatif, lembaga yang merumuskan berbagai kebijakan; (ii) lembaga eksekutif, sebagai lembaga yang mengimplementasikan atau menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan oleh parlemen; dan (iii) lembaga federative, sebagai wujud adanya interaksi hubungan negara lain. Sistem yang ditawarkan Locke kemudian dikenal dengan istilah Monarki Konstitusional atau Monarki Parlementer.
Beberapa sifat dari kontrak sosial Locke perlu dicatat, yaitu:Pertama, prinsip yang mengerakkan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran tetapi keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Orang-orang tidak lari dari kesulitan hidup dengan mencari perlindungan di balik kekuatan semua penguasa yang kuat.
Kedua, individu tidak meneyrahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi hanya hak untuk melaksanakan hukum alam.Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu. Locke mendaftar empat pembatasan khusus dari kekuasaan legislatif: (1) ia wajib mengikuti hukum alam yang “menjadi hukum abadi bagi semua orang, baik pembuat hukum atau orang lain; (2) Ia harus bertindak sesuai dengan hukum dan tidak boleh sewenang-wenang; (3) Ia tidak bisa menetapkan pajak terhadap harta milik rakyat tanpa persetujuan mereka; dan (4) Ia tidak mendelegasikan kekuasaan membuat hukum kepada pihak lain. pembatasan yang ditempatkan oleh Locke ini menunjukkan betapa kayanya gudang ide yang dikemukakannya bagi pemikiran politik Amerika.
(http://seedhieqz.wordpress.com/2010/02/02/pemikiran-politik-zaman-pencerahan-dan-reformasi-antara-hobbes-dan-locke/)
Locke yakin bahwa perlindungan milik adalah tugas pokok, jika bukan satu-satunya, dari negara. Locke menjelaskan bahwa ketika ia menggunakan istilah properly (milik) yang ia maksudkan adalah “kehidupan, kebebasan dan estate”. Namun demikian, ia menempatkan hak milik pada tanah dan barang-barang pada kedudukan tertinggi di antara hak-hak prerogatif lainnya
Locke berpendapat bahwa pemerintahan sipil tidak perlu jika tidak karena adanya gangguan alamiah – gangguan yang menghalangi manusia dalam menikmati gak dan miliknya. Jadi, tugas dan fungsi negara adalah kekuasaan yang terorganisir untuk menjamin keteraturan dan menyelesaikan perselisihan. Pemerintah juga turut wajib untuk melindungi milik, menjaga keteraturan menyediakan lingkungan yang aman di mana individu-individu bisa mencapai tujuan mereka dengan bebas.
Sebagaimana yang dinyatakan Locke, jika kekuasaan sipil dibatasi oleh hukum alam, hasil logis dan akhir dari filsafat politiknya pasti tergantung pada pemahamannya terhadap watak hukum ini. Locke berpendirian bahwa terdapat ketentuan moral tertentu yang ditetapkan oleh Tuhan yang bersifat valid, terlepas apakah ia diketahui oleh pemerintah atau tidak. Pendekatan Locke terhadap pengetahuan manusia, lebih khususnya pada kemampuan manusia untuk mengetahui hukum moral, sangat dibatasi. Empirisme Locke yang kaku menyebabkan menolak setiap habitus prinsip-prinsip moral dalam diri manusia dan menolak bahwa hukum alam bisa diketahui dan kecenderungan alamiahmanusia pada kebenaran dan kebajikan.

 . J.J. ROSSEAU
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Seperti yang dikemukakan Rousseau bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dan bergerak menurut emosinya. Kedaaan tersebut sangat rentan akan konflik dan pertikaian. Untuk menyelesaikan masalahtersebut, manusia mengadakan ikatan bersama yang disebut kontrak sosial.
Rousseau berpendapat bahwa negara merupakan bentuk nyata dari kontrak sosial. Individu-individu di dalamnya sepakat untuk menyerahkan sebagian dari hak-haknya untuk kepentingan bersama melalui pemberian kekuasaan kepada pihak-pihak tertentu di antara mereka. Kekuasaan tersebut digunakan untuk mengatur, mengayomi, menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai kedaulatan rakyat.Hal yang pokok dari perjanjian masyarakat adalah menemukan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang, sehingga karena itu semuanya dapat bersatu. Akan tetapi, meskipun demikian masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas seperti sedia kala. Pikiran inilah yang menjadi dasar dari semua pendapat-pendapat atau ajaran-ajaran selanjutnya. (Soehino, 2005:119)Perbedaan teori kontak sosial dalam pandangan Hobbes dan Rousseau adalah Hobbes menyatakan bahwa setelah negara terbentuk sebagai suatu kontrak sosial, negara tidak terikat lagi dengan individu tetapi individulah yang terikat dengan negara dengan kata lain, negara dapat berbuat apa saja terhadap individu. Berbeda dengan Hobbes, Rousseau berpendapat bahwa negara adalah berasal dari kontrak sosial antara individu jadi negara merupakan representasi kepentingan individu-individu di dalamnya, negara harus berusaha mewujudkan kehendak umum bila kehendak itu diabaikan oleh negara, rakyat dapat mencabut mandatnya terhadap penguasa.Rousseau mendambakan suatu sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi langsung di mana rakyat menentukan penguasa atau pemimpin mereka, membuat tata negara dan peraturan secara langsung. Demokrasi langsung hanya dapat dilaksanakan pada wilayah yang tidak terlalu luas .
Menurut Roussau keanekaragaman pemerintahan di dunia adalah baik karena biasanya mengakomodasikan kepentingan beranekaragam bentuk, tradisi dan adat istiadat masyarakat yang berbeda-beda. Klasifikasi pemerintahan dan kriteria tolak ukur negara menurut Rousseau dapat dilihat berdasarkan jumlah mereka yang berkuasa.
Bila kekuasaan dipegang oleh seluruh atau sebagian besar warga negara (citizen magistrates lebih banyak dari ordinary privat citizen), maka bentuk negara tersebut adalah demokrasi. Tetapi bila kekuasaan dipegang oleh beberapa penguasa (ordinary privat citizen lebih banyak dari citizen magistrates) maka negara tersebut berbentuk aristokrasi. Apabila negara tersebut hanya terpusat pada satu orang penguasa, maka negara tersebut berbentuk monarki.Rousseau juga berpendapat bahwa mungkin nanti terdapat bentuk negara campuran yang memadukan sistem dan bentuk negara demokrasi, aristokrasi dan monarki.